PEMBANGUNAN MASYARAKAT KEPULAUAN



BAB I
PENDAHULUAN

                                                                                                           

                                                     
1. Latar Belakang Penulisan.

         Tabur genderang  tentang pembangunan Wilayah Kepulauan bukanlah suatu hal yang baru kita dengar. Isu tentang pembangunan Wilayah Kepulauan atau yang lebih dikenal dengan pembangunan kawasan pesisir, telah lama menjadi isu nasional sebagai suatu komitmen dalam membangun diri sebagai Negara Kepulauan (archipelagic Country). Hal itu dapat terlihat dari beberapa isu seperti isu penyewaan pulau, isu pertahanan dipulau kecil, pengelolaan pulau kecil terluar, penamaan pulau sebagai sebagai unsur rupa bumi bahkan kritikan terhadap keberpihakan pemerintah kepada daerah kepulauan pun telah dicuatkan.   
Indonesia  sebagai Negara Kepulauan yang dikelilingi oleh pulau-pulau yang berjumlah 17.480 pulau, dengan total laut sekitar 75 % dari total wilayah Indonsia. Negara Kepulauan Indonesia memiliki potensi sumber daya yang dapat diperbaharui (resources renewable) maupun sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ( non renewable resource)s.
Pengelolaan sumber kekayaan yang dimiliki oleh daerah kepulauan memerlukan strategi dan tantangan tersendiri. Maluku sebagai salah satu Propinsi Kepulauan, terdiri dari gugusan pulau yang sudah saatnya memanfaatkan potensi sumber kekayaan alam  lautan dalam membangun daerahnya.
Pembangunan wilayah Kepulauan yang secara fisik memiliki sumber kekayaan daratan  yang terbatas  apabila tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak eksternal  yang cukup signifikan. Ditinjau dari karakteristik social budaya dan dimensi ekonomi masyarakat pesisir, maka kita dituntut unutk memperhatikan keberlanjutan komunitas dan kondisi perekonomian mereka dalam setiap penetapan langkah kebijakan yang diambil dalam pembangunan.


Kesalahan dalam penetapan langkah-langkah kebijakan yang diambil melalui program pembangunan yang dirancang terhadap wilayah Kepulauan, memperlihatkan sangat sedikit sebetulnya orang memahami bagaimana strategi membangun wilayah yang bercirikan Kepulauan  itu. Indikatornya dapat dilihat dari rumusan kebijakan public nasional  yang memberlakukan wilayah NKRI seakan hanya suatu komitmen atau daratan. Maka daerah-daerah kepulauan sangat dirugikan dengan kebijakan-kebijakan itu. Dalam situasi ini sangat diperlukan tingkat kekritisan dalam membangun daerah Kepulauan.
Daerah Kepulauan sudah terlahir (given) memiliki sejumlah kendala dalam pembangunan. Oleh sebab itu pemahaman yang baik terhadap karakteristik masyarakat kepulauan sangatlah berurgensi terhadap keberhasilan pembangunan di Wilayah Kepulauan tersebut.

2. Rumusan Masalah
Bertolak dari uraian yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah pokok penulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimana Pembangunan Masyarakat Kepulauan?

3. Tujuan Penulisan.
Sebagai bagian  dari proses pembelajaran dan pengkajian tentang pembangunan masyarakat  Kepulauan, maka tujuan penulisan makalah ini  adalah untuk :
1)      Memahami konsep Pulau dalam rangka pembangunan masyarakat Kepulauan.
2)      Mengkaji  alasan-alasan tentang pentingnya pembentukan Propinsi Kepulauan.
3)      menganalisa hambatan-hambatan dalam proses pembangunan masyarakat Kepulauan
4)      Pendekatan pembangunan masyarakat Kepulauan



4.  Metode Penulisan.
Guna pengkajian yang lebih baik dan mendalam, maka studi kepustakaan digunakan oleh kelompok sebagai metode penulisan. Metode ini dipergunakan sebagai metode penulisan didasarkan pada suatu argumentasi bahwa ada terdapat cukup hasil penelitian yang dihasilkan serta dipublikasikan dalam berbagai pustaka yang ada sebagai sumber informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pembahasan dan kajian terhadap  makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN MASALAH



1.  Memahami Konsep Pulau.
         

Dalam rangka memahami konsep pulau dalam rangka pembangunan masyarakat kepulauan, maka sejenak kita melihat tentang peta gugus pulau yang ada di Propinsi Maluku, hal ini penting untuk mengetahui peta  pembangunan  yang dibuat  dalam rangka pembangunan masyarakat Kepulauan.
Peta gugus pulau di Propinsi Maluku, dikelompokan dalam 12 kawasan (Karel Ralahalu, 2008:242) yaitu:
1)      Gugus Pulau I, meliputi Pulau Buru dan Pulau Ambalau dengan produk unggulan ikan hias, rumput laut dan kepiting.
2)      Gugus Pulau II, meliputi Pulau Seram bagian Barat yaitu Pulau Buano, Pulau Kelang, Pulau Babi, dan Pulau Manipa dengan produk unggulannya mutiara, teripang rumput laut dan ikan hias.
3)      Gugus Pulau III, meliputi wilayah Administratif Seram Utara dengan produk unggulannya seperti mutiara, udang dan lola.
4)      Gugus Pulau IV meliputi Seram Bagian Timur  yaitu Pulau Parang,  Geser,  Talang Seram laut Kepulauan Gorong (Pulau Gorong, Panjang dan Manovoka), Kepulauan Watubela ( Pulau Watubela, Kesui dan Rumoi), disini ada terdapat rumput laut, kerapu, lola, bulu babi, dan lola.
5)      Gugus Pulau V meliputi Pulau seram bagian selatan (Amahi, Teon Nila Serua (TNS)  dan Tehoru).
6)      Gugus Pulau VI Pulau Banda (Pulau Suanggi, Gunung Api, Neira, Run Ai dan Banda Besar), Pulau Teon, Nila dan Serua dimana terdapat berbagai jenis  mutiara rumput laut ada terdapat dikawasan ini.


7)      Gugus Pulau VII yaitu Pulau-Pualu Lease (Ambon Saparua, Nusalaut, Haruku dan Molana), Kepulauan Penyu dan Lucipara. Kekayaanya ikan hias, kerapu, rumput laut dan batulaga.
8)      Gugus Pulau VIII yaitu Pulau-Pulau kecil yang sekarang masuk dalam wilayah Administratif Maluku Tenggara, dengan kekayaannya antara lain budidaya rumput laut,  kerapu, ikan hias dan lola.
9)      Gugus Pulau IX, yaitu Pulau-pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kepulauan Aru dengan produk unggulannya seperti budidaya rumput laut, udang, kerapu, kepiting dan teripang.
10)  Gugus Pulau X yaitu Kepulauan Tanimbar, Larat, Selaru, Sera, Wuliaru dan Molu. Dari gugus ini terdapat hasil mutiara, rumput laut, teripang dan lola.
11)  Gugus Pulau XI yaitu Kepulauan Babar dan Pulau Sermata. Disini kaya rumput laut, teripang lola dan kerapu, serat terakhir.
12)  Gugus Pulau XII meliputi kepulauan Damar, Romang, Leti, Moa, Lakor, kisar, Wetar, Liran dan Reong, dengan hasilnya antara lain kerapu, tirang dan batu laga.
Pengelompokan Gugus Pulau ini dilakukan berdasarkan karakteristik wilayah, misalnya kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecendrungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumber daya alam. Pembagian Gugus Pulau juga, dimaksudkan sebagai strategi Pemerintah Propinsi Maluku  dalam mengembangkan segenap potensinya, terutama berbasis laut dan pembangunan Kepulauan.
Pengelompokan yang dibuat dalam rangka pembangunan masyarakat Kepulauan seperti yang tertera di  atas, lebih menjurus pada potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh gugus-gugus tersebut. Hal lain yang nampaknya merupakan bagian yang terpenting dalam  pembagian Gugus Pulau pemaknaan terhadap terhadap pulau itu sendiri yang mana turut berimplikasi terhadap pembangunan seperti yang dialami  pada Gugus Pulau VIII sampai dengan Gugus Pulau yang ke XII. ataupun pada Gugus-Gugus Pulau lainnya.
  Kurangnya pemahaman terhadap konsep pulau yang baik,  tentunya akan menjurus kepada suatu pandangan-pandangan yang negatif ataupun “image” tertentu  seperti yang dialami oleh Gugus-Gugus tertentu misalnya:
1)      Adanya pandangan-pandangan steriotype seperti: Seram belakang tanah, Buru pedalaman ataupun Tenggara jauh.
2)      Pulau sebagai tempat pembuangan.
Dalam konteks ini pulau sering dihubungkan sebagai tempat buangan  atau hukuman bagi orang-orang yang bermasalah, sehingga siapapun yang dibuang jauh dari tempat tugasnya akan mendapatkan cemohan secara psikologis sebagai akibat dari perbuatannya. Namun perlu diingat bahwa bagaimanapun juga  masyarakat kepulauan adalah suatu masyarakat secara hakiki memaknaan sebuah “istana diri” dan bukan sebagai tempat pembuangan.
3)   Seringkali Masyarakat yang berada dikawasan gugus-gugus tertentu, dianggap tak bertuan ataupun tanpa penghuni.

Dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat kepulauan, maka image-image yang diucapkan tersebut tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan ataupun penyusunan suatu program dalam pembangunan masyarakat kepulauan. Sesungguhnya kalau kita kaji lebih mendalam secara filosofi maka konsep  pulau bukan hanya mengandung makna yang “pro realistis” akan tetapi secara hakiki mengandung makna yang “pro eksisitensi” yaitu suatu pandangan  yang memihak pada keberadaan diri ( pribadi dan masyarakat ), yang bukan saja secara realistis, tetapi suatu kepatutan hidup yang memiliki hak keberadaan  atau hak hidup yang harus dijamin keberadaannya dan kelangsungannya dalam tanggung jawab; memelihara, memperjuangkan membela dan mengembangkan atau mengtransformasikan secara utuh dan memadai, demikian kata Aholiab Watloly (2007:1).
Pengakuan diri sebagai Negara Kepulauan  ataupun Propinsi Kepulauan bukan sekedar pernyataan ritual ( deklaratif ) atau peryataan diri apa adanya (indikatif) Pengakuan mana mengandung  konsep diri ( true self ) yang bermakna perintah                   ( imperatif) dan harus dilaksanakan melalui kebijakan pembanmgunan nasional  dalam rangka pemgembangan pembangunan nasional  dalam masyarakat yang otonom, emansipatif dan berkesejahteraan ataupun dengan kata lain tidak sekedar mengejar proporsi Dana Alokasi Umum (DAU) ataupun otoritas kekuasaan, namun secara substantive lebih terarah kepada apa yang dinamakan dengan “livehood sustainable” masyarakat kepulauan.

2.  Pertimbangan Pembentukan Propinsi Kepulauan. 
Semenjak ditetapkannya UNCLOS ( United Nation Convention on The Law Of The Sea )    tanggal 12 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika yang merupakan Hukum Laut Internasional dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undanmg Nomor 17 Tahun 1975 tentang pengesahan UNCLOS 1982, sehingga telah menjadi Hukum Nasional  Indonesia. Ketentuan mengenai Negara kepulauan ditetapkan di dalam Bab IV Konvensi yang terdiri dari 9 pasal  ( Pasal 46 s/d Pasal 54 ).
Didalam UNCLOS sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, dikenal 3 (tiga) cara penarikan garis pangkal guna menentukan laut teritorial suatu Negara, yang secara mutatis dan mutandis dapat diterapkan dalam menentukan kewenangan Pemeritahan Daerah dilaut.
Ketiga cara penarikan garis pangkal itu adalah:
1)      Garis Pangkal Biasa ( Normal Base line).
      Adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi ( Pasal 5 UNCLOS ). Garis pnangkal biasa dapat digunakan pada Negara-negara denga karakteristik continental; yang secara mutais mutandis dapat diberlakukan untuk menentukan kewenangan di laut dari daerah dengan karakteristiknya.
2)      Garis  Pangkal Lurus ( Straigth Baseline).
Garis Pangkal ini digunakan pada Negara-negara  yang dgaris pantainya menjorok  jauh kedalam  dan menikung kedalam, atau jika terdapat suatu deretan  pulau-pulau sepanjang pantai didekatnya, maka ditarik garis yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat dugunakan dalam menarik garis pangkal  dari mana lebar laut teritorial di ukur.
3)      Garis Pangkal Kepulauan ( Archipelagic Straigth Baseline).
Garis ini menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan atau karang-karang terluar dari kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan.
Dasar pertimbangan lain yang melandasi terbentuknya propinsi kepulauan adalah Deklarasi Juanda tentang perairan Indonesia Pada Tanggal 13 Desember 1957, diman dalam perjanjian itu disebutkan bahwa, segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan Nasional yang berada dibawah Kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.  

3.  Hambatan Dalam Pembangunan Masyarakat Kepulauan.
Dalam proses pembangunan suatu bangsa dimanapun tidak akan terlepas dari hambatan ataupun kendala yang dihadapinya. Secara khusus, kendala atau hambatan mana juga dialami oleh kita di provinsi Maluku yang dikenal dengan Provinsi Seribu Pulau.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam rangka pembangunan masyarakat kepulauan secara Makro kita menghadapi beberapa masalah yang mendasar dalam pembangunan pada Provinsi Kepulauan antara lain:
a.    Ketentuan Hukum dalam regulasi nasional belum sepenuhnya mengadopsi secara Mutatis Mutanis prinsip Negara Kepulauan.
b.    Persebaran demografis pada wilayah kepulauan tidak merata, sehingga pelaayanan public pada masyarakat titik optimal.
c.    Tingkat isolasi geografis dengan keunikan habitat dan keanekaragaman biotic dalam jumlah yang terbatas serta dinamika ekonomi yang derajat dan jenisnya terbatas dan berskala kecil dan belum didukung oleh jaringan distribusi serta pemasaran secara memadai.
d.   Ketersediaan sumber daya alam yang relatif beragam dengan jumlah yang terbatas dan dibarengi oleh pendekatan pembangunan yang beorientasi structural semata (tidak dilakukan secara terpadu) berdasarkan keunggulan spasial dan potensi local mengakibatkan interfensi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dengan maksud meningkatkan kesejahteraan rakyat tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
e.    Jauhnya rentan kendali dalam melaksanakan tugas pokok pemerintahan daerah terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
f.     Terbatasnya kapasitas sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerah baik yang diperoleh melalui pendapatan asli daerah dan terutama yang melalui anggaran pendapatan dan belanja Negara. Hal yang sama berlaku pula bagi perhitungan DAK, terkait dengan kriteria khusus yang mencakup wilayah pesisir, kepulauan dan perbatasan. (Karel A. Ralahalu, ibid. hal. 12).
Mengacu pada hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan masyarakat kepulauan, maka diperlukan suatu strategi pembangunan yang dapat memberi jawaban terhadap persoalan yang dihadapi dari berbagai aspek persoalan masyarakat dan memberikan prioritas yagn tepat dalam usaha penyelesaiannya, demikian kata H. Bintoro Tjokroamidjoyo dan Mustopadidjaja A. R. (1988: 63).  
   
4.  Pendekatan Pembangunan Masyarakat Kepulauan.
Membangun suatu masyarakat kepulauan bukanlah suatu hal yang mudah hal ini disebabkan karena masyarakat kepulauan yang hidup di pulau-pulau kecil dengan cirri kesosialannya dalam berbagai multi seperti multi subetnik, multi bahasa, karakter, tradisi, dan budaya. Kondisi ini tentunya memerlukan suatu pendekatanyang secara filosofis menunjuk pada basis-basis ontologism masyarakat kepulauan.
sehubungan dengan hal tersebut di atas menurut Aholiab Watloly (2010 : 14-17) pendekatan pembangunan masyarakat kepulauan antara lain:
1)   Pendekatan etnis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam masyarakat yang hiidup di kepulauan Maluku, ada terdapat 117 (seratus tujuh belas) kelompokm etnis yang menyebar pada 812 (delapan ratus dua belas) pulau-pulau kecil serta 117 (seratus tujuh belas)   ragam bahasa etnik. Misalnya rumpun etnis masyarakat Kepulauan Kei dan Aru, Rumpun Etnis dari Masyarakat Alune, Wemale yang dijumpai pada Pulau Seram, serta rumpun etnis Masyarakat Selatan Daya, yang terdiri dari Masyarakat Pulau Kisar, Wetar, Babar, Luang, Sermatang, Lakor, Domer, Romang, Leti, dan Moa. Disamping Rumpun Etnis dan Subetnis Lokal, terdapat juga berbagai Etnis lain yang turut berbaur serta memperkaya khasanah kehidupan masyarakat kepulauan di Maluku.    
2)   Pendekatan kebudayaan dominan.
Dalam pendekatan ini, sesuai dengan hasil pemetaan nasyarakat kepulauan Maluku maka dijumpai 3 (tiga) wilayah kepulauan dominan atau tiga rumpun kebudayaan dominan yang mewarnai konfigurasi budaya masyarakat kepulauan yaitu:
a.    Masyarakat Adat Maluku Tengah yang didominasi oleh kebudayaan “Negeri”.
b.    Masyarakat Adat Malukku Tenggara yang sebagian besar didominasi oleh kebudayaan Strata atau Stratifikasi Sosial.
c.    Masyarakat Adat Maluku Utara yang didominasi oleh kebudayaan Kesultanan.
3)   Pendekatan gugus pulau
Dalam pendekatan Gugus Pulau, penataan tata ruang wilayah Maluku secara konferhensif dikelompokan dalam 6 (enam) Gugus Pulau (bandingkan dengan Pembangunan Daerah Kepulauan Dan Visi Maluku 2030). Keenam Gugus Pulau itu meliputi:
a.       Gugus Pertama, meliputi masyarakat pulau-pulau Buru, Seram, Ambon, Kepulauan Lease, Geser, Gorom, Banda, Manwako, dan Kepulauan Teon, Nila, Serua.
b.      Gugus kedua, meliputi kepulauan Kei dan Kesui.
c.       Gugus Ketiga, meliputi Masyarakat Kepulauan Aru.
d.      Gugus Keempat, Meliputi Kepulauan Tanimbar, Larat, Waliaru, Selaru, Selu, Sera, dan Molu.
e.       Gugus Kelima, meliputi Masyarakat Kepulauan Selatan Daya yaitu: Pulau Babar, Luang, dan Sermata.
f.       Gugus Keenam, Meliputi sebagian Masyarakat Kepulauan Selatan Daya, yaitu Pulau Damer, Romang, Kisar, Wetar, Leti, dan Moa.
Disisi lain dari pendekatan ini, terlihat pola pemetaan Gugus Pulau yang lebih banyak didasarkan pada pola pendekatan wilayah perekonomian, karena itu kedepan diharapkan adanya sebuah pola penataan yang lebih menyentuh aspek pendekatan sosial budaya dengan ciri sosial budayanya yang hakiki sebagai masyarakat kepulauan. melalui pendekatan ini akan kita dapatkan suatu pemaknaan sebagai satu kesatuan kosmologi. Pendekatan sosial budaya kepulauan Maluku itu sendiri adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian hidup masyarakat kepulauan secara merata di seluruh wilayah kepulauan Maluku dalam kontes kepribadian sosial budayanya yang nyata.  
4)   Pendekatan tipologi sosial.
Untuk melihat pengaruh besar kecilnya pulau terhadap karakter budaya masyarakat kepulauan digunakanlah pendekatan Tipologi Sosial. Dapat dijelaskan bahwa 90% masyarakat kepulauan adalah tipe masyarakat pulau-pulau kecil yang memiliki ciri sosial yaitu:
a.       Hidup terpencil dan terisolir dari habitat pulau induknya.
b.    Memiliki keragaman tipikal yang tinggi serta sistim sosial budaya yang cukup beraneka ragam.
c.       Memiliki sistim mata pencaharian dan tradisi kehidupan yang berbeda-beda.
d.   Menempati wilayah yang berada pada kawasan perbatasan dengan jaringan-jaringan sosial kekerabatan serta tradisi adatnya yang bersifat trans Negara.
e.    Rentan terhadap gangguan dan pengaruh luar.
5)   Pendekatan sistim mata pencaharian
Kita mengetahui bahwa Maluku memiliki ketersediaan sumber daya alam serta potensi keanekaragaman hayati darat dan perairan sekitar pulau-pulau (kecil) yang relatif beragam sekaligus mempengaruhi sistem mata pencaharian masyarakat kepulauan, misalnya saja masyarakat Garogos di Seram Timur yang bermata pencaharian sebagai nelayan atau pun masyarakat Kepulauan Selatan Daya yang ada di Pulau Luang, dan Lirang yang berprofesi sebagai nelayan, sementara sebagiannya di pulau Leti, Moa, Kisar, Damer, dan Babar mempunyai matapencaharian campuran antara petani dan nelayan. Gambaran tentang jenis mata pencaharian masyarakat kepulauan, memiliki orienrasi filosofis yang berbeda namun tertata dalam sebuah kesatuan paham kosmologi, misalnya kita kenal sistem pengorganisasian yang disebut Rurehe dalam masyarakat yang  berprofesi sebagai nelayan ataupun sisitim Masohi dan Hamaren sebagai bentuk kerja sama dalam membuka atau menanam lahan baru.

6)   Pendekatan produk pertanian kepulauan
Dalam pendekatan produk pertanian kepulauan kita akan menjumpai aneka sistem pertanian dan produk unggulan pertanian rakyat. Misalnya saja masyarakat kepulauan Tanimbar dengan kacang tanah ataupun masyarakat kepulauan Kei dengan embal dan masyarakat Buru dengan hotong. Selain kita mengetahui produk unggulan dari setiap masyarakat kepulauan, kita mengenal juga kecerdasan budaya dalam menjamin kelangsungan persediaan pangan unggulan, seperti misalnya, etika lumbung pangan di masyarakat Kepulauan Selatan Daya yang dibuat baik di atas tanam (bangunan) maupun didalam tanah untuk mengantisipasi datangnya musim kering atau musim kelaparan. Etika lumbung pangan juga memberi arti kepentingan penyediaan lumbung bibit demi regulasi pertaniannya. Jadi, dari etika lumbung pangan ini kita melihat ada nilai-nilai seperti hemat, menahan diri, kedisiplinan, kerja keras, dan orientasi kemasa depan.  
7)   Pendekatan Negeri/Ohoi/Fena/Vanua/Leta
Masyarakat kepulauan, selalu mengidentikan diri dengan  Negeri/ Ohoi/Fena/Vanua/Leta sebagai basis sosial yang otonom. Basis sosial otonom ini meberikan suatu pencitraan sosial yang hakiki terhadap jaminan hak public dalam perjumpaan atau pergaulan secara luas. Oleh sebab itu, sering kali kita jumpai masyarakat kepulauan yang ada di rantau namun mempunyai keterikatan subjektif dengan basis sosial Negerinya karena di sana terdapat Rumah Tua, Tete Nene Moyang, Dusun, ataupun Status sosial sebagai pusat jaringan kekerabatan yang mengikatnya secara subjektif.                    
8)   Pendekatan wilayah adat
Dalam pendekatan wilayah adat di Maluku, kita mengenal beberapa pengelompokan wilayah adat seperti:
a.       Pata atau Uli, Siwa dan Pata Atau Uli Lima di Maluku Tengah.
b.      Adat Urlima dan Ursiwa yang dikenal dalam wilayah adat masyarakat kepulauan Aru, serta,
c.       Adat Lorlim dan Ursiuw, serta Lorlabai (Kelompok Netral) pada masyarakat Kepulauan Kei.
Secara filosofis, sistim pengelompokan wilayah ini dinampakan dalam berbagai tanda atau symbol adat bagi masyarakat Kepulauan Maluku yang menunjukan keunikan atau kekhasan makna bagi kelompok penganutnya.
9)   Pendekatan laut-laut (darat) sebagai satu kesatuan
Dalam Deklarasi Juanda tahun 1957 telah menetapkan adanya laut sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, laut bukanlah pemisah tetapi penghubung atau pemersatu antar pulau. Bagi masyarakat kepulauan Maluku, laut lebih merupakan satu kesatuan kosmologis dalam totalitas makna keberadaannya, bahkan dari posisi strategis antar pulau, laut menjadi pusat aktifitas publik yang sangat tinggi dan tidak dapat dipisahkan dari daratan. Disisi lain, kita melihat juga bahwa laut memiliki dimensi sosiokultural dalam filosofi masyarakat kepulauan Maluku. Oleh sebab itu, dengan memahami laut dan pulau sebagai satu kesatuan konteks kehidupan masyarakat kepulauan menunjukan struktur epistemologi masyarakat kepulauan yang selalu mengalur dan terbuka pada komunikasi antar pulau dan lintas pulau, serta terbuka pada tuntutan perubahan kemajuan dan pembaharuan hidup.
Mengacu pada 9 (Sembilan) uraian pendekatan pembangunan terhadap masyarakat kepulauan, mengindikasikan bahwa pendekatan pembangunan dari laut ke darat adalah merupakan pendekatan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan. Hal ini pula sesuai dengan Pembangunan Daerah Kepulauan Provinsi Maluku Visi 2030 yang ingin menjadikan Maluku Sebagai Daerah Industri Berbasis Sumberdaya Kelautan Paling Kompetitif di Indoneesia.
Sebagai tindak lanjut dari Visi 2030, maka perencanaan pembangunan Bottom Up terhadap pengembangan model pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dengan:
a.    Pengelolaan yang lebih tepat dan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah karena merekalah yang lebih tauhu isu dan permasalahan pembangunan yang dihadapi.
b.    Peningkatan kemmampuan kelembagaan dalam memfasilitasi munculnya tanggung jawab dari pengguna sumberdaya.
c.    Pengurangan konflik pemanfaatan sumberdaya antar penggunaan., (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2007:3)





























BAB VI
PENUTUP


1.  Kesimpulan
Berdasarkan kepada uraian yang dikemukakan dalam kajian terhadap pembangunan masyarakat kepulauan maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan penting, antara lain:
1)   Setiap Negara secara Makro dan Provinsi Kepulauan secara Mikro, selalu mengalami hambatan dalam proses pembangunan.
2)   Dalam perencanaan pembangunan yang berbasis pada masyarakat kepulauan, tidak saja diperlukan strategi pembangunan yang baik tetapi juga pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap konsep pulau.
2.    Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan oleh kelompok sehubungan dengan penulisan makalah ini adalah perlu dihilangkannya stigma-stigma terhadap masyarakat kepulauan oleh pemerintah pusat pada umumnya dan pemerintah daerah pada khususnya yang pada gilirannya akan berdampak kepada penyususnan perencanaan pembangunan terhadap masyarakat kepulauan.











DAFTAR PUSTAKA


Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2007, Model Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Berbasis Minawisata Bahari di Provinsi Maluku, (Model Pembelajaran di Pulau Dullah, Kabupaten Maluku Tenggara.
Ralahalu Karel Albert, 2007, Pembangunan Daerah Kepulauan dan Visi Maluku 2030, Menjadikan Maluku Sebagai Daerah Industri Barbasis Sumber Daya Kelautan Paling Kompetitif di Indonesia, PT. Bintang Ilmu, Jakarta.
                                     , 2008, The Wonderful Island Maluku, Membangun kembali Maluku Dengan Nilai-nilai dan Khasanah Lokal, Serta Prinsip Entrepreneurial, Beragam Potensi dan Peluang Investasi, Gibon Group Publiccation, Jakarta.
Tjokroamidjojo H. B dan A. R Mustopadidjaja, 1988, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Haji Masagung, Jakarta.
Watloly Aholiab, 2007, Filosofi Masyarakat Kepulauan Sebuah Telaah Filsafat Dalam Rangka Indigenisasi Sosioologi Kepulauan, Orasi Ilmiah Pada Dies Natalis Universitas Pattimura Ke 44 Tanggal 5 Mei Tahun 2007.
                            , 2010, Buku Ajar Filsafat Masyarakat Kepulauan.
                                                                    


                                                                            


                                                                                                                             

Komentar

  1. Hi Yoma,

    Terima kasih share tulisan ini. Bagus dan membantu proses saya mengenali masyarakat kepulauan.
    Saya sendiri saat ini mencoba berkontribusi dalam pembangunan pariwisata di kepulauan Lease.. Secara khusus saya menangani pemasaran wisata Pulau Molana. Bila ada yang perlu saya perhatikan lagi secara khusus, boleh share.. terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKNA SAGU SALEMPENG PATAH DUA