Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosiologis

(Sebuah Catatan Pengantar Bagi Upaya Membangun Pemahaman tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan[1])


Oleh

Yoma Naskay, S.Sos, M.si[2]

 


Pengantar

Berbicara tentang Kekerasan, khususnya Kekerasan terhadap perempuan pada hakikatnya kita berbicara tentang relasi sosial  yang berlangsung di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Kekerasan terhadap Perempuan telah menampakan diri dalam beragam bentuk, antara lain sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan agama dan terjadi dalam semua tingkatan kehidupan masyarakat. Bagi saya Persoalan Kekerasan yang terjadi pada perempuan dari waktu ke waktu semakin kompleks dan bukanlah merupakan persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian ini masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat termasuk pribadi-pribadi kita yang belum memahami persoalan ini sehingga masih memunculkan prilaku Kekerasan. Olehnya itu, Materi ini mencoba menyajikan secara sederhana apa sebenarnya Kekerasan terhadap perempuan yang selalu diperbincangkan dengan memaparkan pengertian yang bersifat pengantar yang bertujuan untuk memberi makna, konsepsi, asumsi serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas. 

 

Sekilas Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan pertama kali digagas pada tahun 1991 oleh Women’s Global Ledearship yang didukung oleh Center Women’s Global Ledearship. 16 hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Againts Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong  upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia dimana setiap tahunnya peringatan ini diawali pada tanggal 25 november yang merupakan Hari International Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan hingga 10 desember peringatan Hari International Hak Asasi Manusia.


Apa Yang terjadi Dalam Rentan Waktu 25 November – 10 Desember ?

· 25 November : Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis Gender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama. Pada tahun 1999, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan tgl. 25 November sebagai Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia

·    1 Desember : Hari AIDS Sedunia. Hari AIDS Sedunia pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri kesehatan seluruh dunia pada tahun 1988. Hari ini menandai dimulainya kampanye tahunan dalam upaya menggalang dukungan publik serta mengembangkan suatu program yang mencakup kegiatan pencegahan penyebaran HIV/AIDS, dan juga pendidikan dan penyadaran akan isu-isu seputar permasalahan AIDS.

·    2 Desember : Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan. Hari ini merupakan hari diadopsinya Konvensi PBB mengenai Penindasan terhadap Orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain (UN Convention for the Suppression of the traffic in persons and the Exploitation of other) dalam resolusi Majelis Umum PBB No 317(IV) pada tahun 1949. Konvensi ini merupakan salah satu tonggak perjalanan dalam upaya memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, atas kejahatan perdagangan manusia.

·    3 Desember : Hari Internasional bagi Penyandang Cacat. Hari ini merupakan peringatan lahirnya Program Aksi Sedunia bagi Penyandang Cacat (the World Programme of Action concerning Disabled Persons). Program aksi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982 untuk meningkatkan pemahaman publik akan isu mengenai penyandang cacat dan juga mambangkitkan kesadaran akan manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat, dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

·    5 Desember : Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada tahun 1985 PBB menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada hari ini, PBB mengajak organisasi-organisasi dan negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud rasa terima kasih dan sekaligus penghargaan kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi amat berarti bagi masyarakat dengan cara mengabdikan hidupnya sebagai sukarelawan.

·    6 Desember : Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan. Pada hari ini di tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (13 diantaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.

·    10 Desember : Hari HAM Internasional Hari HAM Internasional bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan akan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948, dan sekaligus merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detil terkandung di dalam deklarasi tersebut.


Apa itu Kekerasan Terhadap Perempuan   ????

Merujuk pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. dalam pasal 1, Kekerasan terhadap perempuan dikenal dengan istilah violence against women yang didefinisikan sebagai berikut : the term “violence against women” means any act of gender-based violence that results in, or is likely to result in, physical, sexual or psychological harm or suffering to women, including threats of such acts, coercion or arbitrary deprivation of liberty, whether occurring in public or in private life.[3] (Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi).

Pasal 2 menyatakan: “Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak-anak, kekerasan yang berhubungan dengan perempuan, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lainnya terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya. Kekerasan terhadap Perempuan.

Merujuk pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan terhadap Perempuan  didefinisikan sebagai setiap perbuatan terutama terhadap seorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan, penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaraan rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kekerasan terhadap perempuan dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk, antara lain :

  1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan kematian.
  2. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar atau tidak disukai korban dan atau menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.
  3. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
  4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam dan di luar rumah yang

 

Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP).

Data catatan tahunan (catahu) KtP Komnas Perempuan merupakan data kompilasi dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh sejumlah lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia, dan pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan lewat Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) serta pengaduan kasus lewat surat elektronik Komnas Perempuan.

Tercatat Dari total 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dikompilasi Komnas Perempuan pada tahun 2016, sebanyak 245.548 kasus atau 94% adalah data PA dan 13.602 kasus atau 6% adalah data dari 233 lembaga mitra pengada layanan yang mengisi dan mengembalikan formulir pendataan Komnas Perempuan. Dan juga termasuk kasus yang ditangani oleh pengadilan Agama[4].

Untuk Indonesia secara keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat 54. 041 pada Juni 2017[5]. Sedangkan di Maluku sendiri, angka kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sebanyak 198 kasus di tahun 2017, dimana tercatat kasus kekerasan seksual perkosaan sebanyak 45 kasus, kasus pelecehan seksual sebanyak 20 kasus, kasus cabul sebanyak 20 kasus. Kasus percobaan pemerkosaan sebanyak 5 kasus dan trafficking sebanyak 3 kasus[6].

 

Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Sosiologi

Kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif pemikiran sosiologis adalah mengkaji kekerasan terhadap perempuan menurut paradigma pemikiran sosiologi (Mulkan dkk, 2002 : 65) Dalam pemikiran sosiologi kekerasan terhadap perempuan terjadi pada proses interaksi, yang menghasilkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar dalam status peran atau kedudukan. Kondisi demikian, mekanismenya ada pada struktur sosial masyarakat, yang acuannya ada dalam kultur (norma atau nilai) masyarakat dan wujudnya dalam relasi sosial atau interaksi sosial. Sehingga sumber munculnya kekerasan tersebut berkaitan dengan aspek kultural yang patriarki, aspek struktural yang dominatif, eksploitatif akibat posisi tawar laki dan perempuan tidak seimbang, sehingga realisasi jasmani dan mental-psikologis aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya (Mulkan, 165:165)

Dalam perspektif sosiologis, suatu pemikiran yang berkembang dalam masyarakat dapat didekati melalui analisis perubahan sosial[7]. Pertama, yang dimaksudkan dengan perubahan social di sini harus dilihat dengan munculnya lembaga atau organisasi sosial. Kedua, perubahan sosial juga harus dilihat secara substantif terutama dengan adanya perubahan pemikiran dan ideologi yang turut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pada yang pertama, disebut dengan perubahan materil, dan pada yang kedua, disebut dengan perubahan immaterial[8]

Wacana pemikiran verbal kasus kekerasan terhadap perempuan telah mengakibatkan perubahan sosial, baik dalam bentuk struktural, pemikiran atau ideologi. Di antara sebab munculnya lembaga atau organisasi dari bentuk perubahan sosial adalah adanya keinginan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan, perlindungan hukum yang diberikan kepada kaum perempuan dilakukan melalui penerapan sanksi atau hukuman. Kasus-kasus seperti pelecehan seksual, pencabulan bahkan pemerkosaan yang kerap terjadi dalam masyarakat, diatur melalui Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam hal inilah, kita melihat adanya peran lembaga yang turut melindungi hak-hak kaum perempuan dari tindak kerkerasan.

Karena itu, dalam perspektif pemikiran sosiologis tindak kekerasan ini mengantarkan pada persoalan kedudukan dan fungsi perempuan terutama pada masa modern ini. Selain membawa kepada persoalan faham dan gerakan, konsep kesetaraan yang didukung oleh gerakan feminisme menginginkan adanya perubahan terutama dalam memandang peranan perempuan. Arah yang diinginkan gerakan ini adalah terbentuknya “kesadaran perempuan”: yaitu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, di tempat kerja dan di dalam keluarga, serta suatu tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut.

 

Aplikasi Pemikiran dalam Upaya menghentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

Berbicara mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan tidak dapat dipungkuri akan selalu berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, yang bertolak dari realitas yang hidup dan fakta yang membentuk sejarah dan paradigma dan terangkum dalam banyak aspek dan pola kehidupan manusia. Manusia atau masyarakat secara sosiologis melalui konstruksi yang dibangunnya, telah menciptakan kehidupan sosial yang berpola kekuasaan.

Menghadapi kenyataan tersebut, maka berbagai pendekatan digunakan sebagai perangkat untuk mencermati fenomena sosial terkait dengan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu perangkat analisis yang dipakai adalah secara sosiologis, sebagai salah satu kerangka untuk merekonstruksi pemikiran dan cara pandang masyarakat terhadap kekerasan terhadap perempuan. Artinya bahwa pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan mestinya dibangun dengan tujuan mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan melahirkan sikap anti kekerasan terhadap perempuan dengan melibatkan civil society.

Civil society menjalankan fungsi mengontrol kehidupan bersama sekaligus sebagai tempat yang tepat bagi tumbuh kembang pemahaman yang baik tentang kekerasan terhadap perempuan selanjutnya civil society yang termanisfestasi dalam berbagai organ-ogan social dapat menjadi alat atau agen bagi kepentingan bersama untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.

Olehnya itu, bagi saya persoalan kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah perkara yang dapat didekati secara fragmentaris. Sebab dalam perkembangannya tetap menunjukkan paradox bahwa persoalan perempuan apapun bentuknya termasuk kekerasan terhadap wanita telah membentuk sebuah sistem. Artinya pemahaman yang tertanam dalam diri masyarakat tentang relasi perempuan dan laki-laki merupakan jiwa yang melampaui menifestasi ketidak adilan yang tampak, yakni masyarakat melahirkan konsep ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan dengan gender sebagai mekanismenya. Karena itu sebuah rekonsktruksi yang tepat adalah rekonstruksi yang berhadapan langsung dengan pemahaman masyarakat. dimensi inilah yang mesti dibenahi. Dengan demikian civil society, sebagai representasi kesetaraan sekaligus perengkat masyarakat dapat menjadi iklim dan sarana yang efektif untuk mewujudkan pemahaman anti kekerasan terhadap perempuan sekaligus menghentikan kekerasan terhadap perempuan.

 

 

Penutup

Demikian Materi ini disampaikan. Disadari sungguh masih dibutuhkan berbagai macam pikiran untuk pengayaan maupun sebagai referensi dalam mengkreasikan aksi GMKI pada tri matra gumul dalam mendorong dan menghentikan Kekerasan Terhadap Perempuan.

 

 

 

 

 

” Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan “

(Sarah Grimke, 1837)[9]

 

 

 

 

“ Salamat Bastori “



[1] Disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh BPC GMKI Ambon pada tanggal 2 Desember 2017, Kampus PGSD dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

[2] Anggota GMKI yang berbasis di Komisariat ISIP Unpatti, Sekretaris Bidang Pendidikan Kader Kom. ISIP Unptti 2006-2008, Sekretaris Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI Cabang Ambon 2008-2010

[3] Declaration on the Elimination of Violence Against Women (DEVAW). Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993.

[4] Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017

[5] Sumber Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak

[6] Sumber: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak

[7] Definisi perubahan sosial di antaranya dikemukakan oleh Kingsley Davis, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyaralat. Ia memisalkan timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis, menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Lihat, Soerjono Soekanto,Pengantar Sosiologis (Jakarta: Rajawali Press, 1998; 284)

[8] Dikotomi ini dikemukakan oleh William F. Ogburn dengan mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang materi maupun yang immaterial, terutama menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materi terhadap unsur yang immaterial.

[9] Salah satu Aktivis perempuan Amerika, yang vocal dalam menyuarakan kesetaraan gender.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKNA SAGU SALEMPENG PATAH DUA

PEMBANGUNAN MASYARAKAT KEPULAUAN